– Peningkatan Kinerja Kementerian Keuangan:
* Memastikan Pertumbuhan Ekonomi Lebih Inklusif. Kalimat pertama yang disampaikan oleh Menteri PYS adalah ‘ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi sehingga masyarakat hanya sempat mencari pekerjaan dan tidak melakukan demontrasi’. Realitasnya, rerata pertumbuhan ekonomi stagnan di 5% – inipun masih banyak diragukan validasi datanya. Tingkat konsumsi Rumah Tangga relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir (2022-2024) di angka 4,87%, Tingkat Pengangguaran Terbuka (TPT) masih 4,78% pada 2024, tertinggi di ASEAN, serta tingkat kesenjangan (Gini Ratio) pada Maret 2025 masih tinggi sebesar 0,375. Sementara program-program Perlindungan Sosial – seperti PKH, Kartu Sembako, PIP, berbagai Subsidi, yang selama ini menopang daya beli masyarakat masih banyak salah sasaran.
* Reformasi Perpajakan dan PNBP Menyeluruh. Pendapatan Negara pada 2026 ditargetkan Rp3.147,7 triliun, dimana penerimaan terbesar masih dari sektor perpajakan, yakni sebesar Rp2.692 triliun atau 85,5%. Naik 11,3% dibanding Outlook APBN 2025. Yang menjadi persoalan hingga saat ini adalah: (1) Lemahnya integrasi sistem penerimaan negara (pajak, bea-cukai, dan PNBP) sehingga akurasi data penerimaan rendah dan kualitas pengawasan lemah; (2) Obyek pajak masih banyak menyasar kelas menengah ke bawah yang sudah patuh membayar pajak. Sementara, perusahaan/orang super kaya yang banyak ‘mengemplang pajak’ justru mendapat insentif melalui kemudahan berusaha, tax amnesty, tax allowance, dll; (3) Lemahnya kualitas pemeriksaan, sehingga menimbulkan sengketa perpajakan yang tinggi; (4) Fragmentasi pusat dan daerah pasca ditetapkannya UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD); (5) Minimnya transparansi dan akuntabilitas Belanja Perpajakan (Tax Expenditure) yang diestimasi mencapai Rp563,6 triliun. Belanja Perpajakan ini 50%-nya besar berasal dari PPN dan PPnBM, dan paling banyak digunakan untuk sektor Industri Pengolahan (25%). Sedangkan untuk Air Minum, Penangan Sampah, dan Sanitasi hanya 11%, Jasa Pendidikan (0,5%), dan Jasa Kesehatan (5%).
* Memastikan Efisiensi Anggaran Bukan Sekedar Kamuflase. Jargon efisiensi anggaran selama ini hanyalah topeng, sekadar retorika kosong. Faktanya, kabinet tetap gemuk dengan anggaran yang kian membengkak. Alih-alih mengurangi beban negara, Presiden justru menambah pos baru dengan membentuk Kementerian Haji dan Umrah, padahal sudah ada Badan Penyelenggara Haji. Tidak berhenti di situ, pada 25 Agustus 2025 juga lahir dua lembaga baru: Badan Industri Mineral serta Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa/Tanggul Laut Pantura Jawa. Semua keputusan ini jelas menambah beban APBN yang sudah semakin berat.
* Mengembangkan mekanisme transparansi, partisipasi publik dan pengawasan yang ketat terhadap Program Prioritas Pemerintah. Program-program Direktif Presiden menyedot dana besar, tanpa studi kelayakan, tanpa partisipasi publik, sehingg sangat riskan diselewengkan. Program seperti Ketahanan Pangan menyedot anggaran Rp164,6 triliun, Ketahanan Energi Rp402,4 triliun, MBG Rp335 triliun, Pendidikan termasuk Sekolah Rakyat Rp757,8 triliun, Kesehatan – termasuk Cek Kesehatan Gratis Rp244 triliun, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang jumlahnya 80.000 Koperasi akan berhutang ke Bank Himbara sekitar Rp400 triliun dan bila rugi akan ditanggung APBDesa, Pertahanan Semesta, 3 Juta Rumah, dan lain-lain. Sebagian besar program-program tersebut bersifat top down dan tanpa background study yang memadai dan komperehensif, sehingga dampaknya akan sangat kecil dirasakan oleh masyarakat.
* Keberpihakan pada Fiskal Daerah (Menaikkan TKD). Total Belanja Negara dalam APBN 2026 ditetapkan sebesar Rp3.876,5 triliun, Dimana 83% dialokasikan untuk Belanja Pemerintah Pusat atau sebesar Rp3.136,5 triliun. Sedangkan Transfer ke Daerah (TKD) hanya mendapat jatah Rp650 triliun atau 17% dari total Belanja Negara, turun drastic hingga 25% dibanding TKD 2025 yang sebesar Rp919,9 triliun dan Outlook APBN 2025 Rp864,1 triliun. Ada kecenderungan alokasi anggaran ‘dikuasai’ oleh Pemerintah Pusat dengan jumlah K/L yang gemuk atau terjadi resentralisasi keungan negara. Sementara Daerah hanya dikasih ‘remah-remah’ dengan berbagai earmark yang menyertainya. Earmaking TKD adalah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya, sehingga daerah kesulitan mengalokasikan untuk prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing. Ini artinya, Daerah tidak lagi dipercaya oleh Pemerintah Pusat dalam mengelola anggaran negara untuk pencapaian pembangunan.
* Menjaga defisit fiskal tetap terkendali. Saat ini muncul sorotan terhadap potensi kebijakan fiskal ekspansif, seperti program makan gratis, peningkatan belanja pertahanan, dan subsidi, yang berisiko melemahkan disiplin fiskal, sehingga perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan belanja dan keberlanjutan fiskal jangka panjang.
* Mengendalikan utang dengan melakukan pengetatan APBN. Utang Indonesia terus meningkat selama 10 tahun terakhir (kebijakan utang yang agresif tanpa diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang memadai). Utang Pemerintah per Januari 2025 naik sekitar 1,22% dari Desember 2024 sebesar Rp8.801,09 triliun menjadi Rp8.909,14 (Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko. Januari–Maret 2025 Pemerintah Indonesia menarik utang baru (penarikan utang di awal) sebesar Rp250 triliun setara dengan 40,6% dari total target pembiayaan APBN 2025 sebesar Rp775,9 triliun. Juni 2025 jatuh tempo utang sebesar Rp800,33 triliun, beban Bunga yang tercatat dalam RAPBN 2025 sebesar Rp552,85 triliun (sekitar Rp1.353 triliun atau sekitar 37% Belanja Negara untuk membayar utang). Debt Service Ratio (DSR) sebesar 45% melampaui ambang batas IMF (20%), BI (30%); Defisit APBN 2025 pada Triwulan I sebesar Rp104 triliun atau 0,4% dari PDB. Pemerintah juga menarik utang baru pada Maret 2025 sebesar Rp250 triliun untuk menutupi defisit. Sri Mulyani juga menyampaikan bakal menarik utang baru Rp378,4 triliun hingga akhir 2025. ***





