“Ekosistem kekayaan intelektual itu ibarat sistem terintegrasi. Ada tiga pilar: kreasi, pelindungan, dan utilisasi. Kreasi lahir dari kampus dan insan kreatif. Pelindungan ada di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Sementara utilisasi dan komersialisasi berada di industri, termasuk penegakan hukumnya,” kata Razilu.
Diakuinya, ITPLN tercatat telah mengajukan 130 permohonan kekayaan intelektual (KI) sepanjang satu dekade terakhir, periode 2015–2024. Dari jumlah tersebut, 117 permohonan berupa hak cipta, 9 paten, dan 4 merek. Melalui perlindungan KI, tegasnya, perguruan tinggi dapat meningkatkan reputasi, daya saing, serta mendorong budaya riset dan inovasi.
Selain itu, lanjutnya, pemanfaatan KI berpotensi memberi alternatif pendapatan lewat komersialisasi, berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional, serta menjadi solusi bagi permasalahan masyarakat. Razilu menjelaskan, tujuan utama ekosistem KI adalah menciptakan lingkungan kondusif bagi lahirnya inovasi yang berdampak luas.
“Karakteristik ekosistem yang inovatif itu dinamis, kolaboratif, adaptif, berkelanjutan, dan berorientasi pada dampak. Masyarakat harus bisa merasakan hasilnya,” katanya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, pemerintah mendorong kampus-kampus memperbanyak paten sebagai aset strategis bangsa.
“Keluhan dari para inventor, biasanya paten sudah ada tapi belum dimanfaatkan industri. Di sinilah peran pemerintah untuk menggunakan hasil riset kampus. Belanja terbesar negeri ini ada di pemerintah. Contohnya paten karya inovasi ITPLN, produknya bisa langsung dipakai oleh PLN atau industri energi lain,” ungkap Razilu.
Untuk memperkuat ekosistem KI di perguruan tinggi, Razilu menawarkan sejumlah strategi. Pertama, penguatan komitmen dan kepemimpinan dengan memasukkan pengembangan KI dalam visi-misi universitas serta menyiapkan anggaran memadai. Kedua, penyusunan kebijakan KI yang komprehensif dan disosialisasikan secara masif. Ketiga, pembentukan atau penguatan sentra KI sebagai pusat layanan.
“Kesadaran dan kapasitas SDM juga kunci. Jangan sampai sentra KI mati suri hanya karena pergantian kepala. Semua sivitas akademika harus memahami kekayaan intelektual sejak dini, bahkan sejak mahasiswa baru masuk kuliah,” tegas Razilu.
Razilu menekankan, pengelolaan KI bukan sekadar administrasi, tetapi jalan menuju kemandirian bangsa. “Kalau riset berhenti di publikasi, nilainya sebatas angka. Tapi kalau jadi kekayaan intelektual, bisa jadi harta karun bagi kampus dan negara,” tegasnya. (red)